Hati Hati Dengan " Resep Dokter "
Buk …!.. kalau ngambil separo Berapa …. “ Kata ibu muda “ sambil menyodorkan resep dari dokter praktek ahli bagian perut di kota ini, Sambil menunggu petugas menghitung harga obat, ibu tersebut meringis memegang perutnya mukanya kelihatan begitu pucat juga keringat menetes dari pelipisnya.
Adalah Ipah ibu muda yang sehari – hari jualan goreng di perempatan jalan Imamunandar, sementara suaminya kuli bangunan yang kadang kerja dan kadang tidak, telah satu tahun terahir ini perut ibu muda tersebut sering mengeluh sakit.
Sudah belasan kali dia berobat namun sampai saat ini, tiap kali dia terlambat makan ataupun banyak pikiran sakit perutnya selalu kambuh, “ seratus tiga tujuh “ buk, kata penjaga apotik tesebut yang membuat ibu muda tersebut agak kaget dari lamunannya, sambil menoleh ke suaminya ibu muda tersebut berkata Pak.. giman ya ambil sajalah kata suaminya sambil mengangguk.
Saat menunggu tadi ia berpikir bahwa anaknya harus membayar uang ujian nasional di smp, sementara uangnya terpakai untuk berobat Ironis begitulah potret kaum bawah di negeri ini, semantara sebagian pengasa dengan kartu kredit yang tinggal gesek bisa berobat sakit ( migrant ) kepala sebelah saja di Mount Elizabeth Hospital, untuk biaya konsultasi saja harus di keluarkan berjuta-juta.
Dokter sekarang banyak sekali yang memberi resep demi keuntungan pribadi dengan cara kerja sama dengan industry farmasi atau jaringan distri businya baik berupa fee, dan fasilitas lainnya, hal ini dapat kita lihat jika kita berobat ke dokter praktek jam-jam terahir, sales obat sudah banyak menunggu untuk menawarkan produknya, mungkin ini awal dari praktek tersebut.
Terkadang dokter member i resep yang kurang atau tidak memiliki manfaat sama sekali, tidak aman beresiko dan menguras keuangan pasien, pasien sering diperas oleh oknum secara tidak langsung baik di rumah sakit ataupun dokter praktek, pembengkakan biaya tanpa manfaat sering terjadi, yang seharusnya bisa di minimalisasi, banyak kasus salah diagnosa, salah pemberian obat yang sangat merugikan pasien, yang sekarang lebih dikenal dengan mal praktek.
“Sekitar 50 persen resep yang diberikan tidak sesuai, hal ini membuat biaya terbuang karena obat yang diberikan tidak efektif,” ujar Prof Iwan Dwiprahasto, guru besar Farmakologi UGM dalam acara Workshop Jurnalis Kesehatan di Gedung FISIP UI, Depok, sabtu (26/3/2011).
Prof Iwan menuturkan terkadang dokter memberikan resep obat yang banyak, karena tiap gejala yang timbul diberi obat misalnya gejala yang timbul batuk, pilek, sakit kepala maka diberikan satu obat untuk masing-masing gejala tersebut.
“Tujuan dari peresepan harusnya bermanfaat, aman, terjangkau, risikonya sedikit atau minimal, mengurangi pengeluaran dan juga disesuaikan dengan keuangan pasien atau keluarganya,” ujar Prof Iwan dari Bagian Farmakologi dam Terapi/Clinical Epidemiology and Biostatistics Unit FK-UGM/RSUP Dr Sardjito YogyakartaProf Irwan menjelaskan dalam memberikan resep sebaiknya tepat diagnosis, tepat indikasi, tepat jenis dosis, tepat cara penggunaan dan lamanya pengobatan, tepat informasi serta tepat dengan kondisi pasien.
Salah satu pemberian resep yang tidak irasional adalah memberikan antibiotik untuk penyakit yang tidak sesuai. Dr Sharad Adhikary selaku perwakilan WHO di Indonesia menyatakan tahun 2005 ditemukan bahwa 50 persen resep di Puskesmas dan rumah sakit di Indonesia mengandung antibiotik.
Sedangkan survei nasional tahun 2009 menemukan bahwa antibiotik yang diresepkan ini untuk penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus seperti diare akut dan selesma (flu), sebenarnya yang tidak membutuhkan antibiotik untuk pengobatannya.
Penggunaan obat yang tidak rasional atau berlebihan ini tentunya meningkatkan biaya layanan kesehatan. Selain itu terkadang pasien tidak diberikan pilihan obat yang akan dikonsumsinya, sehingga ia hanya bisa menerima resep obat apapun yang diberikannya. Misalnya pada beberapa kasus kadang ditemukan lebih dari satu antibiotik dalam resep obat.
“Peresepan obat yang irasional termasuk dalam pemberian indikasi yang tidak jelas, meresepkan obat yang terlalu banyak serta tulisan resep yang kadang bisa disalahartikan,” ujar Prof Iwan.
Prof Iwan menuturkan karena itu diperlukan upaya untuk melindungi masyarakat dari risiko penggunaan obat yang keliru, seperti melakukan seleksi obat, memberikan obat generik serta melihat bentuk obat mana yang dibutuhkan oleh pasien.
Adalah Ipah ibu muda yang sehari – hari jualan goreng di perempatan jalan Imamunandar, sementara suaminya kuli bangunan yang kadang kerja dan kadang tidak, telah satu tahun terahir ini perut ibu muda tersebut sering mengeluh sakit.
Sudah belasan kali dia berobat namun sampai saat ini, tiap kali dia terlambat makan ataupun banyak pikiran sakit perutnya selalu kambuh, “ seratus tiga tujuh “ buk, kata penjaga apotik tesebut yang membuat ibu muda tersebut agak kaget dari lamunannya, sambil menoleh ke suaminya ibu muda tersebut berkata Pak.. giman ya ambil sajalah kata suaminya sambil mengangguk.
Saat menunggu tadi ia berpikir bahwa anaknya harus membayar uang ujian nasional di smp, sementara uangnya terpakai untuk berobat Ironis begitulah potret kaum bawah di negeri ini, semantara sebagian pengasa dengan kartu kredit yang tinggal gesek bisa berobat sakit ( migrant ) kepala sebelah saja di Mount Elizabeth Hospital, untuk biaya konsultasi saja harus di keluarkan berjuta-juta.
Dokter sekarang banyak sekali yang memberi resep demi keuntungan pribadi dengan cara kerja sama dengan industry farmasi atau jaringan distri businya baik berupa fee, dan fasilitas lainnya, hal ini dapat kita lihat jika kita berobat ke dokter praktek jam-jam terahir, sales obat sudah banyak menunggu untuk menawarkan produknya, mungkin ini awal dari praktek tersebut.
Terkadang dokter member i resep yang kurang atau tidak memiliki manfaat sama sekali, tidak aman beresiko dan menguras keuangan pasien, pasien sering diperas oleh oknum secara tidak langsung baik di rumah sakit ataupun dokter praktek, pembengkakan biaya tanpa manfaat sering terjadi, yang seharusnya bisa di minimalisasi, banyak kasus salah diagnosa, salah pemberian obat yang sangat merugikan pasien, yang sekarang lebih dikenal dengan mal praktek.
“Sekitar 50 persen resep yang diberikan tidak sesuai, hal ini membuat biaya terbuang karena obat yang diberikan tidak efektif,” ujar Prof Iwan Dwiprahasto, guru besar Farmakologi UGM dalam acara Workshop Jurnalis Kesehatan di Gedung FISIP UI, Depok, sabtu (26/3/2011).
Prof Iwan menuturkan terkadang dokter memberikan resep obat yang banyak, karena tiap gejala yang timbul diberi obat misalnya gejala yang timbul batuk, pilek, sakit kepala maka diberikan satu obat untuk masing-masing gejala tersebut.
“Tujuan dari peresepan harusnya bermanfaat, aman, terjangkau, risikonya sedikit atau minimal, mengurangi pengeluaran dan juga disesuaikan dengan keuangan pasien atau keluarganya,” ujar Prof Iwan dari Bagian Farmakologi dam Terapi/Clinical Epidemiology and Biostatistics Unit FK-UGM/RSUP Dr Sardjito YogyakartaProf Irwan menjelaskan dalam memberikan resep sebaiknya tepat diagnosis, tepat indikasi, tepat jenis dosis, tepat cara penggunaan dan lamanya pengobatan, tepat informasi serta tepat dengan kondisi pasien.
Salah satu pemberian resep yang tidak irasional adalah memberikan antibiotik untuk penyakit yang tidak sesuai. Dr Sharad Adhikary selaku perwakilan WHO di Indonesia menyatakan tahun 2005 ditemukan bahwa 50 persen resep di Puskesmas dan rumah sakit di Indonesia mengandung antibiotik.
Sedangkan survei nasional tahun 2009 menemukan bahwa antibiotik yang diresepkan ini untuk penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus seperti diare akut dan selesma (flu), sebenarnya yang tidak membutuhkan antibiotik untuk pengobatannya.
Penggunaan obat yang tidak rasional atau berlebihan ini tentunya meningkatkan biaya layanan kesehatan. Selain itu terkadang pasien tidak diberikan pilihan obat yang akan dikonsumsinya, sehingga ia hanya bisa menerima resep obat apapun yang diberikannya. Misalnya pada beberapa kasus kadang ditemukan lebih dari satu antibiotik dalam resep obat.
“Peresepan obat yang irasional termasuk dalam pemberian indikasi yang tidak jelas, meresepkan obat yang terlalu banyak serta tulisan resep yang kadang bisa disalahartikan,” ujar Prof Iwan.
Prof Iwan menuturkan karena itu diperlukan upaya untuk melindungi masyarakat dari risiko penggunaan obat yang keliru, seperti melakukan seleksi obat, memberikan obat generik serta melihat bentuk obat mana yang dibutuhkan oleh pasien.
Sumber: DetikHealth
2 Comments:
setuju
terus menulis dan berkarya untuk menyambung suara hati orang miskin Bang!
Posting Komentar
<< Home